Minggu, 18 Maret 2012

Pudarnya Pesona Cleopatra ...



Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam kandungan aku
telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal." Ibunya Raihana adalah
teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu" kata ibu.
"Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk
memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu" , ucap beliau
dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti
keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi
dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya
dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu
alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai.
Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia
memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak
kutemukan sama sekali.






Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, "cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux
lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut
dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih
jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang
merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit
cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.
Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari
pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta,
Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa
menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan
jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas
baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar
karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana
tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat
dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang.
Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup
berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk
yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh.

Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing.
Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini
muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi
pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai
lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di
ruang tamu atau ruang kerja.
Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia,
keberadaanku sia-sia. Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang
sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab " tidak
apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah
tangga" Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil 'mbak', "
kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku"
tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. "wallahu a'lam" jawabku sekenanya.
Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisakisak
sambil memeluk kakiku, "Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai
istri kenapa mas ucapkan akad nikah?

Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas
tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana
untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi
pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini". Raihana mengiba penuh
pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena
kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi Kami tidak berjalan. Kami hidup
seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku.

Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku
pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi
pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana
memandangiku dengan khawatir. "Mas tidak apa-apa" tanyanya dengan perasaan
kuatir. "Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi
mendidih" lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. "Mas airnya sudah siap"
kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa
membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. "Mas
aku buatkan wedang jahe" Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku
tak bisa kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit
pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. " Mas masuk angin. Biasanya kalau
masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?" Tanya Raihana
sambil menuntunku ke kamar. "Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa
yang harus kulakukan untuk membantu Mas". " Biasanya dikerokin" jawabku lirih. " Kalau
begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin" sahut Raihana sambil tangannya
melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar
mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai
dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku
merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur
sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis,
Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.
Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan
malam di istananya." Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku
perkenalkan denganmu" kata Ratu Cleopatra. " Dia memintaku untuk mencarikannya
seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya
denganmu". Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana,
kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu
mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba " Mas, bangun, sudah jam
setengah empat, mas belum sholat Isya" kata Raihana membangunkanku. Aku
terbangun dengan perasaan kecewa. " Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka,
tetapi Mas belum sholat Isya" lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru
selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus.
Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku.
Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat
Isya.
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya.
Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana
konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah
kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.
" Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang
termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita
yang dieluk-elukan keluarga tidak datang" Suara lembut Raihana menyadarkan
pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi
onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.
Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. " Maaf..maaf jika
mengganggu Mas, maafkan Hana," lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan
aku di ruang kerja. " Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan
suara parau tercekak dalam tenggorokan. " Ya Mas!" sahut Hana langsung
menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia
berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil "dinda". " Matanya sedikit
berbinar. "Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur,
insya Allah," ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.
Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar
dibibirnya. " Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas,
biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?". Hana begitu bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti
meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah
melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya
ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku
pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi,
setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan
aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang
yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.
Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa
sejarah baru lembaran pernikahan Kami. Benar dugaan Raihana, Kami dielu-elukan
keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. "
Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam
keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta
kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan
aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal.
Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik
dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu
Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama
lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang
dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia. Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta
seperti yang dimiliki Raihana.
Sambutan sanak saudara pada Kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap
Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan
semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang
suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku
sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang
menyindir tentang keturunan. " Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum
ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu" kata ibuku. " Insya
Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah Kami. Bukankah begitu, Mas?"
sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpurapura
kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura.
Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini
semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai
seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.
Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba.
Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih
sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku
bertanya" Mana tanggung jawabmu!" Aku hanya diam dan mendesah sedih. " Entahlah,
betapa sulit aku menemukan cinta" gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam.
Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan.
Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh
dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap
tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, " Mas untuk menambah
biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh
dibawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita".
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu
dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian.
Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah
bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.

Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang
kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas.
Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati
andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau,
membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku
istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan
menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan
dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa,
andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat
sholat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku
mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah
bahasa arab. Diantara tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi
banyak berbincang dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga
berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia
menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang
menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. "Apakah kamu sudah menikah?" kata Pak
Qalyubi. "Alhamdulillah, sudah" jawabku. " Dengan orang mana?. " Orang Jawa". " Pasti
orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang
menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati,
lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?". "Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal
Al Quran". " Kau sangat beruntung, tidak sepertiku". " Kenapa dengan Bapak?" " Aku
melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu,
tentu batinku tidak merana seperti sekarang". "Bagaimana itu bisa terjadi?". "
Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan
kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal
dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya
bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiringdengan berjalannya
waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi
pelajar dari Indonesia.

Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya
tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin.
Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah
melihat gadis secantik itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun
kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya
didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan
rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.
Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini,
sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar
yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan Yasmin
yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya.
Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin. Yasmin menuntut diberi
sesuatu yang lebih dari gadis Mesir.
Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya
kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia.
Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun
pertama hidup Kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir
menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin.
Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak Kami yang ketiga lahir, tetapi
pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun
tetapi tiga tahun sekali, Yasmin tidak bisa.

Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah
terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan.
Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan
damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik.
Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya
pengin rendang, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan
Indonesia.

Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada
sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun
yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi
dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan
sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.
Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak
dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu
mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko
yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk
merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia
mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. " Aku
menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa
bahagia kecuali dengan lelaki Mesir". Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar.

Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya.
Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.
Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia
karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang
menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini
Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong.

Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai
dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya
sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang".
Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya
menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak
terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang
menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun.
Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan
Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi
wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana
sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi
melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.
Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin
membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan
kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah
mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah
bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas Merah jambu. Hatiku berdesir, darahku
terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk
istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku
serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan RabbiïAllah ternyata suratsurat
itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa
ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri
untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap
melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan
suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.
"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya
Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu
yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi,
curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba" tulis Raihana.
Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa" Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh
noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini
kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan
kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan
menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa
kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang
masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih
mulia lagi pada suamiku.

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya.
Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba
masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti
dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya
karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia
dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak
disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau".

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa.
Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang
baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya,
suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya
terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angin
sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra
telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta
pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus
berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk
membagi Cintaku dengan Raihana.

Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes
sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak.
Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu
mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. "
Mana Raihana Bu?". Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya
apa sebenarnya yang telah terjadi.
" Raihanaï...istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya" . " Ada apa dengan dia". "
Dia telah tiada". " Ibu berkata apa!". " Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia
terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak
selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala
kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu.
Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah
dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya" . Hatiku
bergetar hebat. " kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?". "
Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk
menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya
kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana
berpesan agar Kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika
Raihana meninggal, Kami sangat sedih, Jadi Maafkanlah Kami".

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta
Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku.
Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa
memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya.
Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.
Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir
desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana
tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar
biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua ........




Sumber :
Buku : Pudarnya Pesona Cleopatra ( Novel Psikologi Islam Pembangun Jiwa )
Karangan : Habiburrahman El Shirazy ( Penulis Novel best seller Ayat-ayat cinta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar